Perjalanan Menuju Baduy Dalam, Dilarang Berfoto

Langkah Derofa - Selang beberapa hari sepulang dari Baduy, gue sudah merasa kangen dan ingin kembali lagi kesana. Sepertinya pertemuan pertama sudah membuat gue jatuh cinta hehe.

Bertemu Warga Baduy Dalam Di Wilayah Baduy Luar

Bertepatan dengan libur lebaran di awal Mei 2022 gue memutuskan kembali lagi ke Baduy, jika dihitung hitung genap tiga minggu setelah pulang dari Baduy luar.

Bersama “Wuki Travel” gue akan mencoba pengalaman baru yaitu menginap di Baduy dalam.

Sabtu Siang tanggal 6 Mei 2022, rombongan kami sampai di terminal Ciboleger. Saat itu kami sudah ditunggu oleh beberapa warga Baduy dalam disebuah warung makan.


Mereka akan menemani perjalanan kami menuju kampung mereka di Cibeo sekalian menjadi porter bagi teman teman yang mau di bawain tas nya, Untuk jasa porter ini dikenakan biaya sebesar Rp. 100.000 pulang pergi.

Teman teman dari Baduy dalam ini berjumlah 10 orang terdiri dari enam orang dewasa (kang Jali, kang Sanif, kang Herman, kang Sarta, Juli, Andre) dan empat orang anak kecil (Jarta, Sarmali, Jermain dan Naya).


Sebagai warga Baduy dalam, mereka mengenakan atasan berwarna putih dan berwarna hitam tanpa kancing, bawahan berupa sarung yang terlihat seperti rok dan ikat kepala berwarna putih. Mereka memakai tas terbuat dari kain dan tidak memakai alas kaki.

Perjalanan Ke Kampung Cibeo Baduy Dalam

Baduy dalam terdiri dari tiga kampung yaitu Cibeo, Cikeusik, Cikartawana dan masing masing kampung dipimpin oleh Pu”un yang merupakan gelar paling tinggi di Baduy.


Untuk menuju Baduy dalam ada beberapa jalur yang bisa dilalui salah satunya lewat Ciboleger. Jalur ini memang paling panjang, pengunjung akan melewati kampung kampung yang ada di Baduy luar termasuk kampung Balingbing tempat gue menginap sewaktu main ke Baduy luar.

Ketika pertama bertemu dengan anak anak kecil Baduy yang berjumlah empat orang itu mereka masih malu malu dan sering menghindar ketika diajak bicara. Tapi dalam perjalanan mereka mulai dekat dengan kami, mau diajak ngobrol dan mau diajak berfoto.

Jarta, adalah anak yang mencuri perhatian gue dan juga teman teman yang lain. Umurnya 9 tahun tapi tubuhnya masih kecil imut. Tingkah nya sangat lucu dan menggemaskan.

Walau masih kecil, mereka berjalan sangat cepat sekali tidak terlihat capek di wajah mereka, sedangkan kami? Ah sudah lah ojo dibandingke hehe.

Sembari berjalan gue memperhatikan kaki dari teman teman Baduy, telapak kaki mereka sangat lebar karna mereka tidak pernah memakai sendal, betis nya besar, kakinya kuat dan badannya kokoh. Hidup di alam bebas sudah melatih mereka menjadi pribadi pribadi yang tangguh,  

Diguyur Hujan Deras Di Perjalanan

Jarak dari Ciboleger menuju Kampung Cibeo Baduy dalam sekitar 12 kilometer melewati beberapa kampung Baduy luar, beberapa jembatan dan perkebunan warga.

Kami berjalan santai tidak terburu buru karna kami tidak sekuat orang Baduy yang sudah terlatih berjalan kaki setiap hari. Selain itu kami juga sering berhenti untuk berfoto di tempat tempat yang bagus dan menarik perhatian.



Di pertengahan perjalanan kami tiba tiba hujan turun dengan derasnya padahal sebelumnya tidak ada mendung bahkan cuaca sangat panas dan terik.

Waktu itu kami sedang melewati ladang warga yang memiliki pondok kecil dan kami gunakan untuk berteduh.

Cukup lama kami menunggu di pondok tersebut tapi sepertinya hujan tidak menunjukkan tanda tanda mau berhenti. Kami memutuskan untuk menerobos hujan sambil memakai jas hujan agar tidak kemalaman di jalan.

Hujan yang sangat deras membuat jalan jalan yang kami lalui tergenang oleh air. Kami melewati sebuah aliran air yang ternyata sebuah anak sungai yang membelah jalan. Kedalam nya mencapai lutut orang dewasa dengan arus yang cukup deras.

Disini salah seorang teman harus merelakan sendalnya terbawa arus, dan terpaksa berjalan nyeker seperti orang Baduy dalam. Berjalan dengan kaki telanjang bukan hal yang mudah apalagi saat melewati jalur berbatu. Gue akhirnya meminjamkan sendal jepit yang gue bawa dalam tas yang membuat dia sangat senang dan semangat lagi.

Kami hanya fokus berjalan, padahal rumah rumah warga di kampung yang kami lewati begitu menawan jika di foto, tapi hujan ini benar benar membatasi aktivitas kami.

Perbatasan Baduy Luar Dan Baduy Dalam

Kami tiba di sebuah jembatan yang merupakan perbatasan antara Baduy luar dan Baduy dalam. Disini kami diingatkan untuk mematikan handphone karna di Baduy dalam tidak boleh mengambil foto atau video.

Jalur menuju kampung Cibeo ini jauh lebih terjal dibanding jalur di Baduy luar, jalurnya sudah tidak berbatu lagi melainkan jalur tanah yang sangat licin dan juga berlumpur. Kami harus hati hati sekali berjalan agar tidak terpeleset dan jatuh.

Memakai sandal gunung atau sepatu gunung di trek seperti ini sangat membantu sekali, ada beberapa teman yang menggunakan sneaker atau sendal biasa pada akhirnya mereka kesusahan sendiri.

Rombongan kami sudah terpisah pisah dan saat itu gue bersama dua orang teman berjalan bersama kang Sanif yang banyak bercerita tentang kehidupan mereka di Baduy dalam.

Gue sempat bertanya ke Kang Sanif apakah dia dan beberapa warga Baduy dalam terutama kaum muda nya tidak tergoda dengan kehidupan yang ada diluar sana seperti tekhnologi dan sebagainya. Gak usah dibandingkan dengan orang kota, bahkan dengan orang Baduy luar saja mereka lebih tradisional.

Kang Sanif menjawab, perasaan itu pasti ada tapi kami harus menjaga tradisi kami, mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh leluhur kami dan menjalani semuanya dengan ikhlas. Mendengar jawaban dari kang Sanif membuat gue semakin kagum dengan orang Baduy.

Ada beberapa rumah yang kami lewati dimana jarak antara rumah satu dengan yang lain cukup berjauhan. Menurut penjelasan kang Sanif, selain memiliki rumah di kampung, warga Baduy dalam juga memiliki rumah di ladang.

Warga lebih sering berada di rumah ini agar tidak terlalu jauh jika pergi bekerja di ladang.

Suasana Malam Di Kampung Cibeo

Hari sudah gelap ketika kami sampai di kampung Cibeo, hujan masih belum berhenti walau tidak deras lagi.

Kami dibagi dalam dua kelompok, sebagian menginap di rumah kang Jali sebagian lagi dirumah kang Safri.

Gue kebagian menginap dirumah kang Safri yang saat itu sedang berada di Jakarta, hanya ada istrinya teh Narti, anaknya Naya serta kedua adek teh Narti yaitu Andre dan Juli yang juga bareng kami dari Ciboleger.

Kang Safri bersama beberapa warga Baduy dalam sedang ada urusan di Jakarta dan mereka kesana tidak naik kendaraan melainkan berjalan kaki berhari hari berpuluh kilometer tanpa alas kaki.

Begitulah ciri khas orang Baduy dalam, mereka tidak diperbolehkan naik kendaraan apapun jenisnya serta tidak boleh memakai alas kaki.


Rumah kang Safri dan semua rumah di sini hanya diterangi oleh lampu minyak, didalam rumah saja masih redup apalagi diluar rumah benar benar gelap, kami tidak bisa melihat suasana kampung ini seperti apa.

Dibelakang rumah kang Sanif terdapat sebuah sungai yang arus nya cukup deras dan suaranya benar benar kencang, sungai ini digunakan oleh warga untuk berbagai aktivitas seperti mandi dan buang air.

Sambil menunggu teh Narti memasak menggunakan kayu bakar, kami mengisi waktu dengan ngobrol sambil bercanda satu dengan yang lain. Kapan lagi ada momen dimana tidak ada satupun yang memegang handphone tapi hanya berkumpul dan duduk bareng.

Kami makan malam dengan menu sederhana yaitu telur dadar, sayur sop dan sambel yang entah karna kelaparan membuat kami makan dengan lahap.

Ada banyak kesederhanaan yang gue lihat saat makan malam salah satunya warga Baduy dalam tidak boleh menggunakan alat makan yang terbuat dari beling, peralatan makan tersebut hanya boleh digunakan para tamu.

Di Baduy dalam tidak boleh menggunakan sabun apapun jenis nya baik sabun mandi, sabun cuci, odol dan shampo, tujuan nya untuk menjaga alam dan aturan ini juga diberlakukan bagi tamu yang menginap di Baduy dalam.

Dan peralatan makan yang habis kami pakai itu sudah tentu tidak akan dicuci memakai sabun.

Berbagi Cerita Dengan Kang Sanif

Kang Sanif dan kang Sarta malam itu menemani kami dirumah, begitu juga dengan Andre dan Juli juga makan malam bersama kami.

Kang Sanif ini merupakan saudara ipar dari kang Safri, orang nya ramah dan jika mendengar dia berbicara tidak terlihat jika dia hidup disebuah kampung yang jauh di tengah hutan dan jauh dari tekhnologi.

Hal ini disebabkan karna mereka sering menerima tamu menginap di kampungnya, sehingga kemampuan dalam berbicara sangat lancar karna bergaul dengan para tamu, bahkan beberapa istilah yang ada di kota dia juga tau.

Banyak hal yang kang Sanif bagikan malam itu membuat kami kagum, heran bercampur aduk.

Sudah menjadi aturan dari dulu kalau di wilayah Baduy dalam tidak boleh berfoto, ketika kami bertanya ke Kang Sanif dia hanya menjawab jika itu sudah merupakan adat turun temurun dari leluhur yang harus di taati. Jika aturan itu dilanggar maka akan menimbulkan tulah bagi si pelanggar.

Kami boleh berfoto dengan warga Baduy dalam tapi harus di wilayah Baduy luar dan foto foto yang kami ambil semua berada di wilayah Baduy luar.


Lanjut kang Sanif di Baduy dalam itu tidak ada kuburan, jika ada warga yang meninggal dan selesai dikubur tidak lama kemudian diatas kuburan tersebut sudah ditanam pohon. Jadi orang Baduy tidak mengenal istilah nyekar ke kuburan.

Saat kami bertanya kenapa orang Baduy bisa kuat berjalan berkilo kilo meter tanpa alas kaki, kang Sanif menjawab orang Baduy itu memiliki ilmu yang tidak dimiliki orang banyak yaitu ilmu “Kabi” atau kabiasaan, hehe.

Suasana Pagi Hari Di Kampung Cibeo 

Malam itu kami tidur sambil memakai sleeping bag karena udara yang sangat dingin. Hal ini membuat gue tidak bisa tidur dengan lelap ditambah lagi dengan suara aliran sungai yang berada di belakang rumah.

Kondisi dalam rumah benar benar gelap karna lampu minyak yang jadi penerangan sudah dimatikan. Lampu minyak ini berpotensi menyebabkan kebakaran jadi tidak boleh dibiarkan menyala terus hingga pagi. Bersyukur nya gue sudah membawa headlamp dari rumah dan ini sangat membantu sekali.


Keesokan paginya kami disambut dengan cuaca cerah setelah kemarin sore hingga malam hujan mengguyur Baduy, kami bisa melihat secara jelas kondisi kampung Cibeo seperti apa.

Rumah rumah nya sedikit berbeda dengan rumah di Baduy luar, walau sama sama berbentuk rumah panggung tapi rumah disini lebih tinggi dari Baduy luar.

Suasana begitu sepi tidak banyak warga yang kami temui, karna warga lebih banyak menginap di ladang yang jarak nya lumayan jauh dari perkampungan daripada tidur di kampung.

Sejauh mata memandang tidak terlihat hal hal yang berbau produk tekhnologi disini, semua begitu sederhana. Kami berkeliling kampung dan gue merasa seperti berada di sebuah tempat di masa lalu serasa hidup di zaman dulu.

Jika di Baduy luar masih bisa menggunakan alat elektronik maka di Baduy dalam hal ini sama sekali tidak diperbolehkan, jadi kami hanya menikmati suasana kampung yang sangat tradisional.

Kami melewati sebuah rumah yang halamannya diberi penghalang dari bambu, rumah itu adalah rumah Puun pemimpin tertinggi di kampung Cibeo.

Kami sangat pengen sekali mengambil foto dan video mengenai keadaan kampung ini tapi kami sadar hal itu sangat dilarang, sebagai tamu kami harus mengikuti aturan tersebut dan semua apa yang kami lihat hanya bisa disimpan di memori kepala saja.

Sebelum pulang gue mandi dulu disebuah pancuran dekat sungai tanpa memakai sabun, shampo, sabun cuci muka dan odol. Sedangkan teman teman yang lain ada yang tidak mandi, ada juga yang sudah duluan mandi di sungai saat subuh tadi sekalian BAB.

Jembatan Akar, Ikon Baduy

Selesai beberes dan makan pagi kami pamit untuk pulang, jika waktu berangkat lewat dari Ciboleger maka untuk pulang kami lewat jalur yang lain, jaraknya lebih dekat dibanding jalur Ciboleger.

Jalan ini melewati sebuah ikon dari Baduy yaitu Jembatan Akar, kenapa disebut jembatan akar karna berupa akar akar pohon yang melilit satu sama lain dan membentuk jembatan diatas sungai.


Kami mencoba melintasi jembatan tersebut untuk memuaskan rasa penasaran sekalian berfoto. Jembatan ini berumur cukup tua dan kondisinya masih bagus karna selalu dirawat oleh warga.

Tidak banyak kampung yang kami lewati di jalur ini seperti ketika melewati Ciboleger, kami lebih banyak melewati hutan dan kebun warga.

Akhirnya kami tiba disebuah warung, disini kami istirahat, mandi dan makan siang. Disini juga kami berpisah dengan teman teman dari Baduy dalam karna kami akan pulang kerumah dan mereka akan kembali ke Cibeo.


Walau kebersamaan kami dengan teman teman dari Baduy dalam sangat singkat, tapi begitu berkesan.

Banyak hal yang bisa di pelajari dari kehidupan mereka : sederhana, apa adanya, semangat, kerja keras, menjaga alam dan BERSYUKUR.

 

Comments

Popular Posts