Menginap Di Baduy Luar : Tidak Ada Listrik, Tidak Ada Signal

Langkah Derofa - Sempat gue berpikir kalau Suku Baduy itu adalah suku yang sangat terpencil dan jauh dari tekhnologi, ternyata?

Ketika mendengar kata Baduy yang terlintas di benak gue adalah madu, karna gue sering melihat orang Baduy di jalan membawa madu untuk dijual. Penampilan mereka cukup unik menggunakan baju khas dengan ikat kepala dan berjalan kaki tanpa memakai sendal.

Ketika melihat mereka banyak pertanyaan muncul yang berujung pada penasaran tentang kehidupan orang Baduy, se-tradisional apakah mereka?

Suku Baduy berada tidak jauh dari ibukota tepat nya di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Akses menuju kesana tidak sulit bahkan bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi.

Transportasi lainnya yang sering digunakan untuk pergi ke Baduy adalah commutter line atau KRL.

Nah gue dan teman teman dari Backpacker Jakarta memulai trip ke Baduy dari stasiun Tanah Abang.

Kami naik KRL tujuan Rangkas Bitung karna stasiun Rangkas Bitung ini yang terdekat dengan wilayah Baduy. Waktu tempuh dari stasiun Tanah Abang ke stasiun Rangkasbitung sekitar dua jam perjalanan.

Karna kami berangkat pada hari Sabtu maka kondisi KRL tidak terlalu ramai, kami dapat duduk sambil menikmati pemandangan di luar sana.

Keluar dari Stasiun Rangkasbitung kami berjalan ke terminal yang lokasi nya tidak jauh dari stasiun lalu naik mobil elf menuju ke terminal Ciboleger. Terminal Ciboleger adalah titik awal perjalanan menuju Baduy yang merupakan batas wilayah antara Baduy dan luar Baduy. Waktu tempuh dari Rangkas Bitung menuju terminal Ciboleger sekitar 1.5 jam.

Setiba nya di terminal Ciboleger kami ada waktu jeda untuk istirahat, sholat dan makan siang. Oiya trip ini diadakan di bulan puasa tepatnya  tanggal 16-17 April 2022.

Suasana di terminal Ciboleger cukup sepi, tidak banyak wisatawan yang datang disebabkan karna bulan puasa, jadi kami bisa leluasa berfoto di patung selamat datang yang menjadi ikon Baduy.

Dari terminal Ciboleger kami berjalan menaiki tangga dimana sebelah kanan kiri jalan berjejer toko toko sembako. Kami melihat beberapa warga Baduy sedang belanja di toko toko tersebut, kami juga beberapa kali berpapasan dengan warga Baduy yang membawa hasil kebun mereka ke Ciboleger.

Tak lama kemudian kami sampai di perbatasan wilayah antara luar Baduy dan wilayah Baduy, jaraknya sangat dekat 5-10 menit perjalanan saja.

Lalu kami masuk kampung pertama suku Baduy, di kampung ini setiap rumah rata rata berjualan souvenir khas Baduy seperti kain tenun, tas koja, baju baduy, ikat kepala, gelang etnik dan madu Baduy, tak ketinggalan minuman kemasan dan aneka jajanan.

Baru kali ini gue melihat orang Baduy secara langsung di kampung mereka, ternyata orang Baduy itu kasep dan geulis. Kaum wanita nya memiliki kulit yang putih alami tidak kalah cantik dengan orang kota. Mereka juga memakai pakaian khas berwarna hitam dan biru walau sederhana tapi mempesona.

Para wanita Baduy suka menenun di depan rumah yang jadi pemandangan menarik bagi pengunjung. Kami tergoda untuk mengabadikan moment ini tapi untuk mengambil foto mereka tidak boleh sembarangan, sebaiknya minta ijin dulu karna ada beberapa dari mereka yang tidak mau di foto.

Ada kejadian juga ketika kami ajak warga untuk ngobrol. mereka cuma senyum dan tidak mau menjawab. Hal ini bukan karna sombong tapi sebagian dari mereka ada yang kurang fasih berbahasa Indonesia sehingga banyak diam saat diajak bicara.


Suku Baduy sendiri terdiri dari dua kelompok yaitu Baduy luar dan Baduy dalam. Tujuan akhir dari trip kami yaitu Kampung Balingbing wilayah Baduy luar.

Kami akan menginap di rumah Pak Sarpin yang merupakan salah satu tokoh adat di Baduy. Pak Sarpin punya anak bernama Mulyono atau di panggil kang Mul yang memandu kami selama berada di Baduy.

Lalu apa saja perbedaan antara Baduy luar dan Baduy Dalam? Kang Mul akan menjelaskan semuanya pada malam hari nanti.

Bersama Kang Mul (tengah)

Jalur yang kami lewati menuju Kampung Balingbing sudah pasti menanjak karna berada di perbukitan, walau jalurnya tidak terjal tapi cukup melelahkan.

Cuaca siang itu sangat terik dan panas, gue yang tidak berpuasa saja merasa sangat kehausan apalagi dengan teman teman yang sedang berpuasa tantangan nya pasti cukup berat untuk menahan capek, panas, haus dan lapar.

Jarak dari terminal Ciboleger menuju Kampung Balingbing menempuh waktu sekitar 1.5  - 2 jam.

Sesampainya di rumah Pak Sarpin kami dibagi menjadi dua kelompok, sebagian nanti menginap dirumah Pak Sarpin sebagian lagi di rumah depan nya.

Rumah rumah di Baduy memiliki bentuk yang sama, terbuat dari kayu dan bambu, beratapkan ijuk atau rumbia, tidak memiliki jendela dan berbentuk panggung tidak menyentuh tanah. Tidak ada yang menonjol antara rumah satu dengan yang lain.

Tapi ada satu hal yang membedakan rumah Pak Sarpin dengan rumah lainnya yaitu di rumah Pak Sarpin terdapat kamar mandi dan toilet karna tidak semua rumah di Baduy memiliki kamar mandi dirumah.

Mungkin karna Pak Sarpin sering menerima tamu untuk menginap maka dibangun lah fasilitas itu. Bahkan rumah pak Sarpin ini beberapa tahun silam pernah dijadikan lokasi syuting film berjudul “Ambu” yang diperankan oleh Widyawati/artis senior dan Laudya Chintia Bella.



Sore itu kami menghabiskan waktu dengan berkumpul bersama sambil bercanda satu dengan yang lain. Moment kebersamaan ini sangat berharga karna kami tidak disibukkan lagi dengan handphone karna di Baduy tidak ada signal, jadi handphone digunakan hanya untuk berfoto saja tidak untuk yang lain, seru kan?

Kami juga menyempatkan main ke sungai yang berada dibawah rumah pak Sarpin berjarak sekitar 200 meter, sungai ini membelah wilayah Baduy dan terlihat cukup bersih karna warga Baduy menjaga kebersihan alam nya.

Di wilayah Baduy terdapat bangunan bangunan kecil yang berbeda dari rumah warga, bangunan itu dinamakan Leuit atau lumbung padi.

Leuit dibangun jauh dari perumahan warga, tujuan nya jika terjadi kebakaran dirumah rumah warga maka leuit tidak ikut terbakar.

Setiap keluarga memiliki leuit nya sendiri dan leuit ini berisi padi huma, padi yang disimpan tersebut berusia puluhan tahun bahkan ada yang ratusan tahun tapi masih bisa dikonsumsi.

Padi yang ada di leuit hanya digunakan pada momen tertentu saja seperti acara adat atau saat terjadi bencana di Baduy sedangkan beras yang di makan sehari hari dibeli dari luar Baduy.


Karna kamar mandi yang terbatas sementara yang antri panjang, maka gue memilih untuk mandi di pancuran. Mandi di alam terbuka seperti ini merupakan pengalaman yang tidak terlupakan, apalagi saat itu tidak ada orang lain yang mandi selain gue. Tapi lagi enak enak nya mandi tiba tiba ada warga lewat dan malah diajak ngobrol hehe.

Waktu sudah mendekat maghrib, kami semua berkumpul dirumah pak Sarpin untuk berbuka puasa. Menu berbuka ini sudah dipersiapkan oleh teman teman untuk dinikmati bareng bareng.

Walau kami berasal dari berbagai kepercayaan tapi semua berbaur menjadi satu dan menikmati moment seru berbuka puasa di Baduy.

Karna di Baduy tidak ada listrik maka sebagian warga memakai listrik dari tenaga surya untuk kebutuhan penerangan di dalam rumah. Walau cahaya nya tidak terlalu terang tapi bisa menghalau penglihatan kami dari kegelapan, halahhh.


Lalu kami makan malam dengan menu ala Baduy yaitu ikan asin yang merupakan menu favorit orang Baduy, ditemani sayur sop, tempe goreng dan sambal. Sederhana tapi rasanya begitu nikmat, cobain deh.

Selesai makan malam, kami berkumpul sambil mendengarkan penjelasan dari kang Mul tentang Baduy, momen ini sangat menarik karna kami mengetahui informasi tentang Baduy dari orang Baduy sendiri.

Kang Mul menjelaskan perbedaan antara Baduy luar dengan Baduy dalam bisa dilihat dari pakaian yang mereka kenakan. Warga Baduy luar memakai pakaian berwarna hitam serta ikat kepala berwarna biru sedangkan warga Baduy dalam mengenakan pakaian berwarna putih dan ikat kepala berwarna putih juga.

Perbedaan lainnya adalah warga Baduy luar boleh memakai alas kaki sedangkan warga Baduy dalam dilarang memakai alas kaki.

Lanjut kang Mul, orang Baduy dalam itu tidak boleh naik kendaraan apapun jenisnya, jadi jika mereka pergi ke Jakarta atau daerah lain di luar Baduy mereka akan berjalan kaki berpuluh kilometer sedangkan warga Baduy luar boleh untuk naik kendaraan.

Hal menarik lainnya yang dijelaskan kang Mul yaitu warga Baduy dalam tidak boleh menggunakan sabun baik itu sabun mandi, shampoo, sabun cuci dan odol tapi untuk warga Baduy luar aturan itu tidak berlaku,

Gue baru tau walaupun sama sama Baduy ternyata ada banyak perbedaan diantara keduanya. Masih ada lagi perbedaan antara Baduy luar dan Baduy dalam. jika penasaran silahkan datang langsung ke Baduy, hehe

Menurut kang Mul, masyarakat Baduy baik dalam maupun luar beragama Sunda Wiwitan yang termasuk dalam Kepercayaan Terhadap Tuhan YME.

Bahasa sehari hari yang digunakan warga Baduy adalah Bahasa Sunda.

Warga Baduy mencari penghasilan dari berladang serta membuat kerajinan tangan, kehidupan mereka cukup sederhana dan bersahaja.

Orang Baduy memiliki sebuah kebiasaan cukup unik dan masih dilakukan hingga hari ini yaitu menikah muda. Jadi tidak ada anak muda Baduy yang jomblo sampai bertahun tahun haha.

Hingga sekarang adat istiadat Baduy masih melarang warga nya untuk bersekolah formal, tradisi itu sudah dilakukan secara turun temurun.

Karna menurut adat mereka sekolah itu akan membuat orang jadi pintar, orang pintar bisa jadi keblinger yaitu menggurui orang, menipu orang dan merasa lebih hebat.

Walau tidak bersekolah tapi warga Baduy terutama kaum muda nya sudah bisa membaca, menulis dan berhitung. Selain diajari oleh orang tua, mereka juga belajar sendiri.

Sesi sharing dari kang Mul malam itu begitu menarik, kami melakukan tanya jawab untuk memuaskan rasa penasaran kami hingga tidak terasa malam semakin larut.

Malam itu kami tidur dalam keadaan gelap gelapan karna tidak ada listrik, suasana terasa tenang dan damai. Tapi udara disini tidak begitu dingin padahal kami sudah membawa sleeping bag dari rumah.

Kami dibangunkan oleh suara kucing berantam dan kokok ayam bersahut sahutan di kolong rumah padahal masih pagi banget loh. Dari situ gue tidak bisa tidur lagi, rasanya pengen keluar rumah tapi masih gelap.

Sebagian teman teman masih terlelap dalam tidur nya, gue keluar rumah menghirup udara pagi yang segar.

Ada momen indah diluar sana, gue melihat wanita Baduy sedang berkumpul dan bersiap hendak pergi ke ladang. Mereka memakai topi caping, membawa tas kain memakai pakaian khas mereka berwarna hitam dan biru.

Ada sebuah jembatan yang jadi salah satu ikon di Baduy lokasinya ada di kampung Gajeboh yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari rumah pak Sarpin.

Jembatan ini disebut jembatan bambu karna dibuat dari bambu ya iyalah. saat berjalan menuju kesana kami melewati rumah rumah warga. Terlihat warga Baduy duduk santai di depan rumah, ada yang sedang menenun, ada yang menjemur padi dan beberapa kali kami berpapasan dengan warga yang pulang dari ladang.

Kami berjalan menyusuri pinggir sungai dengan view yang sangat indah, rumah rumah di kampung Gajeboh sangat instagramable, banyak spot foto menarik yang memanggil kami untuk berfoto disana.


Di wilayah Baduy terdapat beberapa jembatan bambu yang membelah sungai, tapi jembatan yang satu ini lebih panjang dan memiliki view yang indah disekitarnya. Di sisi yang satu ada rumah rumah warga sedangkan sisi lain jembatan ada lumbung lumbung warga.

Jembatan bambu akan bergoyang saat dilintasi dan lantainya berbunyi ketika diinjak, akan menakutkan bagi mereka yang takut ketinggian termasuk gue hehe,



Setelah melihat secara langsung kehidupan di Baduy bahkan menginap disana, ternyata tidak seperti apa yang gue kira selama ini. Kata “Jauh dari peradaban dan tekhnologi” tidak berlaku disini.

Warga Baduy terutama kaun mudanya sudah melek tekhnologi, mereka sudah memiliki handphone, punya akun sosial media seperti instagram, facebook dan tik tok bahkan ada yang jadi youtuber dan memiliki pengikut banyak.

Mereka juga memasarkan madu dan hasil kerajinan tangan melalui market place dan sosial media.

Mereka tidak mengenyam pendidikan di sekolah formal, tapi gaya bicara dan pengetahuan mereka tidak kalah dari orang kota. Kosa kata bahasa mereka juga keren, mereka mengenal istilah atau kata kata yang sedang ngetren diluar sana.

Dapat disimpulkan mereka punya keinginan kuat untuk belajar, keinginan untuk tau segala sesuatu tapi mereka harus belajar sendiri dengan segala keterbatasan.

Dari  mereka gue banyak belajar tentang kehidupan dan rasa bersyukur.

Gue pulang dari Baduy membawa kenangan indah dan sebotol madu hutan.

 

Comments

Popular Posts